DIALOG KEBANGSAAN DENGAN PP ISNU, DEKAN SYARIAH PERTANYAKAN ALINEA KE-4 DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Media Center- Komitmen tingkatkan intelektualitas tentang konstitusi, Fakultas Syariah melakukan kerjasama dengan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) adakan Ngaji Kebangsaan pada Selasa (29/3). Acara bertemakan “Syarah Alenia ke Empat UUD NRI Tahun 1945” berlangsung secara daring dan berhasil menyedot banyak perhatian hingga tercatat ratusan orang dari berbagai kalangan hadir dalam acara itu.
Dihadiri langsung oleh Ketua Umum PP ISNU yaitu Dr. H. Ali Masykur Musa yang didampingi pembahas yaitu Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I sebagai Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.
Dalam prolognya, Dr. H. Ali Masykur Musa menyatakan kekagumannya terhadap founding fathers yang begitu hebatnya sehingga memiliki istilah norma yang begitu nampak intelektualitasnya dalam konstitusi yang dibangun.
“Misalnya frasa kesejahteraan umum, dalam beberapa agama konsep itu telah ada. Dalam Islam dikenal sebagai maslahatan ummah,” ujarnya yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Pasulukan Al-Masykuriyyah.
Memiliki bekal pengalaman dalam mengkaji konstitusi ketika pernah mengemban amanah sebagai Sekretatis PAH I BP MPR RI pada tahun 2000-2004 serta sentuhan Islami membuat diskusi menjadi menarik. Baginya, prinsip dasar dari negara Indonesia khususnya sila ke-1 yakni Ketuhanan yang Maha Esa sama sekali tidak bertentangan dalam sektor keagamaan.
“Apakah sila ke satu mengharamkan paham atheisme? mengacu dalam penegasan al-Quran pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bertuhan,” tambahnya.
Seluruh proses bernegara termaktub pada alinea ke empat. Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat yang berarti memiliki kekuatan dan kemandirian dalam berbangsa dan bernegara.
“Kita bukan hanya negara yang merdeka, tapi juga berdaulat. Ada yang merdeka tapi tidak berdaulat seperti jajahan model baru,” tegasnya yang juga Dosen Universitas Islam Malang.
Dalam syarah alinea ke empat UUD NRI Tahun 1945 itu terbagi menjadi 5 bagian yakni Ketuhanan YME (At-Tauhid), Kemanusiaan (al-Insaniyah), Persatuan (al-Wihdah, al-ukhuwah), Kerakyatan (ar-Raiyyah), dan Keadilan (al-‘Adalah).
Dalam syarah Ketuhanan YME, konsep ketuhanan dalam Islam sesuai dengan keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 Situbondo bahwa, tafsir ini tidak menafikan agama-agama yang ada di dunia untuk menapatkan haknya.
“Dalam surah al-Anbiya ayat 25 dan al-A’raf ayat 180 disimpulkan tidak ada manusia yang terlahir atheis. Bahkan Iblis sekalipun tidak menyangkal adanya Tuhan,” tegasnya.
Kemudian dalam soal kemanusiaan bahwa, hakikat dan martabat manusia yang harus dijadikan acuan moral dalam perumusan dan menjalankan kebijakan berbangsa dan bernegara. Sedangkan persatuan menggambarkan konsep menyatunya unsur yang berbeda. Selanjutnya pada frasa kerakyatan dengan kata dasar rakyat (ra’iyyah) berarti gembala dan pihak lain sang penggembala.
“Untuk mengetahui kehendak sesungguhnya oleh rakyat, maka perlu mekanisme sekaligus lembaga politik yang dapat mewakili dan menyuarakan aspirasi, dalam hal ini MPR/DPR,” lugasnya.
Terakhir dalam konteks keadilan, fiqh memberikan pengertian yakni memberlakukan setiap orang secara setara dan tidak subjektif.
Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. yang menjadi pembahas dalam diskusi banyak memberikan pandangannya terhadap syarah alinea ke-empat UUD NRI Tahun 1945 ini.
“Menjadi pertanyaan bersama, apakah Pancasila sudah sesuai dengan prinsip Syariah? Saya jawab tegas iya,” tegasnya yang juga Ketua APHTN-HAN.
Selain itu, menarik itu untuk didiskusikan mengenai bentuk negara. Indonesia yang dikenal sebagai negara demokrasi dan kesejahteraan dalam faktanya menjadi ketimpangan yang kentara terjadi dan belum mencerminkan alinea ke-empat tersebut.
“Negara maju fokus membangun demokrasi, namun ekonomi stagnan. Sedangkan negara yang tidak menganut demokrasi relatif ekonominya maju,” ujar Prof Harisudin yang juga Pengasuh PP Darul Hikam.
Lebih lanjut, Prof. Harisudin mengajak berdiskusi terkait pengistilahan bagi Indonesia. Jika ditarik dalam sejarah pada tahun 1936 Nahdlatul Ulama menggunakan istilah Darul Islam kepada Indonesia yang berarti setiap muslim yang berada di wilayah Indonesia dapat melakukan kegiatan ibadahnya.
Dalam diskusi, muncul pertanyaan tentang RUU Sisdiknas yang secara nyata menghilangkan frasa “madrasah” sebagai salah satu jenjang pendidikan. Hal itu menjadi sorotan publik yang secara kontribusi telah banyak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanah konstitusi.
Reporter: Nury Khoiril Jamil
Editor: Arinal Haq