FORMULASI HUKUM PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK KORUPSI DI INDONESIA
Oleh: Muhammad Bagus Ilamawan*
Di Indonesia, mulai dari media cetak hingga media online tidak terlepas dengan pemberitaan terkait isu korupsi. Isu korupsi tersebut ramai tidak hanya dalam berita skala nasional, tetapi juga dalam pemberitaan lingkup internasional. Hal ini menunjukkan bahwa kasus korupsi di Indonesia telah menjadi pusat pemberitaan di media internasional.
Melihat realitas tersebut, ada banyak desakan publik untuk menghukum para pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman mati. Hal ini wajar, mengingat tindakan korupsi tidak hanya merugikan lembaga/instansi dan masyarakat, melainkan juga merugikan negara.
Publik kemudian berupaya memasukkan klausul hukuman mati dalam beberapa Pasal yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di beberapa negara masih diberlakukan hingga saat ini. Seperti negara Cina, Korea Utara, Irak, Iran, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar dan Maroko.
Sayangnya, Indonesia sendiri sebagai negara yang menempati posisi ke-30 dari 85 negara yang menduduki peringkat sebagai negara paling korup di dunia menurut US News, upaya untuk memberlakukan hukuman mati di Indonesia mengalami pro kontra yang sangat kuat di masyarakat. Mereka yang tidak setuju dengan hukuman mati, menentang penghapusan hukuman mati dari sistem peradilan pidana Indonesia dengan mempertanyakan kemampuan hukum dalam menangkal kejahatan dan memberantas pelaku kejahatan. korupsi.
Lemahnya penegakan hukum Indonesia menjadi akar penyebab sulitnya pemberantasan kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat. Hal ini terlihat dari informasi dalam laporan Mahkamah Agung tahun 2017 tentang hukuman bagi individu koruptor. Menurut Mahkamah Agung, 442 kasus korupsi telah diputuskan. Sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen dari para terdakwa dijatuhi hukuman antara satu sampai dua tahun, dan sebanyak 400 kasus atau 90,27 persen dari para terdakwa divonis secara khusus. Kemudian, sebanyak 42 kasus atau 9,73 persen terdakwa diputus bebas, dan sebanyak 28 kasus atau 6,33 persen terdakwa divonis kurang dari satu tahun. Individu yang korup menerima hukuman yang sangat sedikit berdasarkan data ini. Hal ini berbeda dengan laporan Mahkamah Agung tentang kasus pidana terorisme dan narkoba yang diancam hukuman minimal sepuluh tahun penjara atau bahkan hukuman mati.
Secara teoritis, orang yang melakukan korupsi adalah mereka yang melakukan kejahatan berat yang dilakukan oleh pejabat tinggi, karena ini adalah sifat dari kejahatan tersebut. Bahkan ketika korupsi menyebar, penyelidikan terorganisir dilakukan. Tindak pidana korupsi diklasifikasikan lebih menyeluruh dibandingkan dengan tindak pidana terorisme dan narkoba yang berdampak luas pada seluruh aspek kehidupan.
Pada intinya, tindak pidana korupsi yang belakangan ini terkesan semakin meringankan beban bagi para pelakunya. Oleh karena itu, diperlukan strategi hukum yang komprehensif untuk memberantas tindak pidana korupsi. Misalnya dengan melakukan penguatan pada bidang hukum materiil dan formil yang berkaitan dengan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja, sampai saat ini belum terdapat koruptor yang divonis hukuman mati oleh pengadilan.
Korupsi merupakan kejahatan yang mengancam masa depan bangsa, sehingga harus dikawal dengan baik, agar kasus kejahatan korupsi menemukan titik jera bagi para pelakunya. Menurut hukum Indonesia yang masih ada dan dipertahankan, pidana mati dapat dijadikan sebagai ancaman bagi pelaku korupsi sebagaimana diuraikan di atas, baik untuk tindak pidana umum maupun khusus.
Tujuan dari undang-undang unik ini adalah untuk memberantas korupsi. Tindakan pengayaan yang berpotensi merugikan keuangan negara diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, hukuman yang paling berat, seperti hukuman mati dalam pasal tersebut di atas, bisa digunakan untuk menghentikan korupsi.
*Penulis adalah Mahasiswa Semester 1 Prodi HTN Fakultas Syariah UIN KHAS Jembe