GAGASAN PEMBAHARUAN HUKUM PERJANJIAN INDONESIA
Oleh: Nury Khoiril Jamil
Ketua Umum Media Center Fakultas Syariah UIN KHAS Jember Periode 2022-2023
Pada hakikatnya keabsahan perjanjian tidak ditentukan baik dilakukan secara fisik atau langsung (face to face) maupun secara komunikasi jarak jauh. Baik dalam bentuk dokumen cetak atau elektronik dan baik lisan ataupun tulisan tetap sah dengan mengikuti ketentuan pasal 1320 KUHPerdata. Namun, dalam konteks ini syarat sah perjanjian masih menjadi syarat formal dan tidak menyentuh aspek psikologi para pihak khususnya dalam melaksanakan kerelaan atas perjanjian yang dilaksanakan.
Hukum perjanjian Indonesia sebagaimana telah diatur pada Burgerlijk Wet Boek atau yang biasa disebut KUHPerdata mengatur mulai dari pengertian, syarat sah perjanjian, kekuatan mengikat suatu perjanjian dan ketentuan lainnya. Terlebih pada era modern, perjanjian dapat dilakukan tanpa mengenal perbedaan waktu dan jarak.
Kendati keterpaksaan pada perjanjian telah diatur dalam pasal 1321 KUHPerdata mengatakan bahwa “suatu perjanjian tidak sah apabila dibuat karena kekhilafan, dengan paksaan atau penipuan”. Namun, keterpaksaan tersebut lebih diartikan terhadap perbuatan yang menyebabkan ketakutan serta intimidasi baik terhadap jiwa dan harta benda dalam waktu dekat, sehingga suatu perjanjian disepakati sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1323 dan 1324 KUHPerdata.
Sistem hukum common law memiliki prinsip tersendiri yakni, kontrak yang terbentuk atas dasar ketidakpatutan atau ketidakadilan yang terjadi pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang (undue influence), namun bila ketidakadilan terjadi pada suatu keadaan, maka hal ini dinamakan keadaan yang berat sebelah (unconscionability). Penyalahgunaan keadaan tidak semata berhubungan dengan isi perjanjian, melainkan berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian karena tidak bebas menentukan kehendaknya dalam kontrak.
Seseorang yang memiliki keunggulan posisi tawar baik ekonomi maupun psikologi berpotensi untuk mendominasi dan memengaruhi kehendak pihak, sehingga terpaksa mengadakan perjanjian tersebut. Keunggulan yang tidak berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang timpang, sehingga melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu, yang dibuat karena keterpaksaan.
Pengaturan hukum di Belanda lebih komprehensif dan modern, pada Pasal 3 : 44 Nieuw Burgerlijk Wetboek dapat membatalkan perjanjian jika satu pihak dalam melakukan perjanjian tersebut berada dalam keadaan darurat atau terpaksa atau dalam keadaan ketimpangan psikologis yang lebih kuat dan cenderung menyalahgunakan keadaan untuk kepentingan dalam perjanjiannya.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas beragama Islam tentu perilaku, dan sosial budaya masyarakatpun ikut terpengaruh. Beragama non-Islam pun di Indonesia dapat seperti seorang muslim yang berperilaku sosial yang baik sesuai ajaran Islam.
Menarik untuk diperhatikan, aspek perjanjian dalam Islam memiliki kompleksitas unsur tentang keterpaksaan dibanding rumusan yang diatur dalam ketentuan KUHPerdata yang hanya melihat aspek materiil. Perjanjian dalam Islam diwajibkan agar bebas dari Mukhtar (bebas dari paksaan) Syarat ini didasarkan oleh ketentuan QS. an-Nisaa (4) : 29 dan Hadits Nabi SAW yang mengemukakan prinsip an-taradhin (rela-sama rela). Hal ini berarti para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan, dan tekanan.
Dasar dari penjaminan tanpa keterpaksaan dalam melakukan perjanjian dalam Islam adalah lahir dari sebuah asas yaitu asas al-Ridha atau asas kerelaan. Untuk menunjukkan bahwa dalam sebuah kontrak kerelaan telah dicapai, diperlukan indikator sebagai tolok ukur unsurnya. Indikator dimaksud adalah formulasi (sigat) ijab kabul. Abstraknya kerelaan, maka diperlukan beberapa faktor pendukung sebagai indikator adanya kerelaan seperti lisan, tulisan, isyarat dan perbuatan.
Asas al-Ridha menjadi aspek penting dalam mengukur suatu kerelaan dalam perjanjian yang akan melahirkan perikatan. Kepastian, keadilan dan kebermanfaatan dapat tercapai jika dalam perjanjian adalah sesuai dengan kerelaan para pihak yang sama-sama sepakat atas perjanjian yang para pihak buat bersama.
John Rawls mengatakan bahwa keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial seperti di atas bisa berjalan secara berkeadilan, para pihak harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan. Pertama, kebebasan yang sama (principle of equal liberty), prinsip ketidaksamaan (the principle of difference). Kedua, bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, (a) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung dan (b) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Dalam hubungannya perjanjian, berfungsi untuk mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam perjanjian terkandung suatu pemikiran (tujuan) akan adanya keuntungan yang diperoleh para pihak. Terkait dengan perjanjian yang berorientasi keuntungan para pihak, fungsi asas proporsionalitas menunjukkan pada karakter kegunaan yang operasional dan implementatif dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak.
Dengan beberapa pertimbangan baik dari aspek keadilan dan asas proporsionalitas tersebut, maka diperlukan interpretasi lebih dalam dan detail mengenai pasal 1320 KUHPerdata khususnya dalam pengertian dan penerapan konsensusalisme.