ISU METAVERSE MENCUAT, KP3 MUI JATIM GELAR WEBINAR NASIONAL BERAGAMA DI ERA METAVERSE
Media Center - Metaverse merupakan ruang digital yang yang memungkinkan para penggunanya dapat berinteraksi dengan orang lain secara real-time dan merasakan pengalaman seperti di dunia nyata. Bahkan implikasinya tidak hanya sosial, namun juga ekonomi, politik dan agama. Merespons dari hal itu, Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur sukses menggelar Webinar Nasional “Beragama di Era Metaverse” pada Selasa malam, (22/2) melalui Zoom Meeting.
Acara tersebut dihadiri oleh narasumber nasional, Dr. Amirsyah Tambunan (Sekretaris Jenderal MUI) dan Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. (Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jatim).
Prof. Dr. H. Biyanto, M.Ag. sebagai Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya mengaku bahwa kajian ini adalah kegiatan pertama yang diadakan MUI Jatim dalam merespons topik yang sedang ramai dibicarakan sebagai era baru dari teknologi internet.
“Tema yang dibahas kali ini sangat menginsipirasi melihat di akhir Desember 2021 muncul kabar dari Arab Saudi yang meluncurkan program haji virtual metaverse. Hal ini menimbulkan banyak kontoversi dari banyak kalangan. Inilah pentingnya memahami pola beragama di era metaverse agar sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah, ”tutur Prof. Biyanto dalam sambutannya.
Senada dengan hal itu, Wakil Ketua MUI Jatim, Prof. Dr. KH. Abd. Halim Soebahar, MA menjelaskan bahwa acara ini merupakan respons MUI terhadap kebutuhan masyarakar untuk menghadapi peluang sekaligus tantangan di era metaverse.
“Zaman boleh berubah, tapi MUI harus tetap konsisten dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat,” ujarnya yang juga Ketua Senat Universitas UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu.
Dr. Amirsyah Tambunan sebagai narasumber pertama menerangkan bahwa Al-Qur’an telah memberikan peluang yang begitu luas untuk berijtihad dalam hal bermuamalah. Ia juga menyinggung mengenai haji virtual yang diresmikan oleh Imam Masjidil Haram, Syeikh Dr. Abdurrahman As-Sudais.
“Ibadah haji adalah ibadah mahdlah yang tata caranya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Ketika sudah ada dalil qath’i, maka akan semakin sedikit ruang dalam berijtihad terlebih jika tidak memenuhi rukun dan syarat tertentu, ”terang Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan PP Muhammadiyah itu.
Pada kesempatan itu pula, ia menekankan kepada masyarakat agar selalu melakukan tabayun setiap menerima informasi baru.
“Gunakan teknologi dengan dua sisi. Sisi pertama, untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sisi kedua teknologi harus dikuasai bukan malah menguasai kita. Utamakan bertabayun dulu sebelum percaya dan membagikannya kepada orang lain,” tambahnya yang sekaligus Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Pada forum itu, Amirsyah menegaskan dirinya tidak mengintervensi sah atau tidaknya penggunaan Metaverse. Sebab, untuk memutuskannya perlu diskusi panjang.
“Saya hanya ingin mengajak berdiskusi, kira-kira dengan dalil yang sudah kita miliki, mungkinkah kita menggunakan teknologi Metaverse untuk mengganti pelaksanaan ibadah yang kita lakukan?” ujarnya.
Kalau menurut penilaiannya sendiri (bukan ijtijhad jama’i), umrah haji lewat Metaverse termasuk kategori bentuk ibadah yang tidak sah. Karena tidak memenuhi rukun dan syarat sebagaimana dalam ibadah khusus.
Di sisi lain, Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I. menyebutkan bahwa era metaverse ini adalah pengejawantahan dari respon hadits Rasulullah tentang perubahan sosial. Dalam hadits ini, dijelaskan bahwa setiap 100 tahun akan muncul seorang mujadid (tokoh pembaruan), termasuk yang membahas soal Metaverse.
“Beragama di era metaverse kerap disuguhi banyak pertanyaan masyarakat melihat berbagai permasalahan yang muncul. Sementara, Islam yang terdiri dari 3 unsur yakni tauhid, syariah dan akhlak. Apakah ketiha unsur ini harus tetap terpenuhi dalam realitas virtual tersebut,” ujar Guru Besar Ushul Fiqh UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu.
Prof. Haris juga menyuguhkan sejumlah persoalan yang kemudian mungkin muncul di era metaverse, diantaranya soal akidah, ibadah mahdlah, aktivitas neouratik sebagai perbuatan mukallaf, transaksi dan menikah di era metaverse.
“Tentu, ini akan membutuhkan pembahasan jauh lebih rumit dan pertanyaan mendasarnya adalah, siapakah manusia di era metaverse? Dan apakah tindakan digital di metaverse juga terikat oleh nilai moral?,” tutur Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu.
Menurutnya, sebelum persoalan-persoalan tersebut muncul, umat manusia perlu khawatir terhadap hilangnya kendali atas dirinya sendiri akibat dari revolusi infotek dan biotek.
“Manusia kehilangan jati dirinya sebagai makhluk yang bebas dan memiliki otoritas untuk memilih,” ujarnya.
Keberadaan algoritma, sambungnya, menuntut manusia perlu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah pilihan-pilihan hidupnya di dunia nyata adalah pilihannya sendiri atau sejatinya adalah pilihan algoritma?
Jika telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri, artinya secara sadar atau tidak agama yang dianutnya adalah agama data. “Manusia telah menghamba pada algoritma,” terangnya.
Menurut Prof. Haris, dalam dunia Metaverse, manusia punya identitas virtual yang maya, selain identitasnya yang nyata. “Tentu kalau merujuk Ushul Fiqh, yang dihukumi mukallaf adalah yang di dunia nyata. Sholat, haji, puasa, dan ibadah lainnya, yang terhitung adalah yang dilakukan di dunia nyata. Sementara, yang dilakukan di dunia metaverse, tidak dianggap sah karena bukan dunia yang nyata”, ujar Prof Haris yang juga Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia.
Acara yang dimoderatori oleh Dr. H. Syarif Thayib, M.Si. memunculkan banyak repons positif, baik pertanyaan dan argument dari peserta yang berjumlah ratusan dari seluruh provinsi di Indonesia.
Reporter: Siti Junita
Editor: Erni Fitriani