KOMISIONER KOMNAS PEREMPUAN USUL KAMPUS BUAT TIM TANGANI KEKERASAN SEKSUAL
Media Center- Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi banyak menuai pro kontra. Perdebatan bertumpu pada frasa pada pasal 5 ayat (2) Permen a quo yakni “tanpa persetujuan korban”.
Diskusi publik yang dikemas dalam bentuk seminar nasional ini diselenggarakan oleh Fakultas Syariah UIN KHAS Jember pada Senin 22/11 secara hybrid system di GKT lantai 3 UIN KHAS Jember dan Zoom Cloud Meeting yang bertemakan “Pro-Kontra Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”.
Menghadirkan tiga narasumber berkompeten yakni Dr. Siti Nurjanah, M.Ag. sebagai rektor IAIN Metro Lampung, Dr. (cand) Adam Muhshi, S.H., S.AP., M.H. sebagai dosen HTN FH Unej dan Maria Ulfa Anshor sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Turut hadir pula Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. sebagai Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember sebagai keynote speaker dan dimoderatori oleh dosen yang juga direktur PUSHPASI Fakultas Syariah UIN KHAS Jember yakni Sholikul Hadi, M.H..
Bagi Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. pro-kontra terkait regulasi di Indonesia adalah hal yang biasa. Ruang berpendapat dibuka seluas-luasnya karena negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Dengan catatan, penyampaian pendapat harus melalui jalan dialog dengan baik.
“Perguruan Tinggi harus peka dengan fenomena yang terjadi di masyarakat. Perguruan tinggi jangan tinggal diam, minimal pernah mendiskusikan," pungkas Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. yang juga Ketua APHTN-HAN.
Kelompok pro menilai adanya peraturan ini efektif untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual yang terjadi, khususnya di lingkungan Perguruan tinggi. Namun, kelompok kontra menyoal tentang frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbud Ristek tersebut menyiratkan makna legalisasi zina jika dilakukan atas dasar suka sama suka.
Dalam penyampaian Dr. (cand) Adam Muhshi, S.H., S.AP., M.H. dosen FH Unej itu, menyoal terkait urgensi dan keabsahan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS. Menurutnya, adanya Permendikbud Ristek tersebut berdasarkan ratio legis merupakan kebutuhan sebagai perlindungan HAM. Dalam rangka mencegah maraknya korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Sementara penafsiran tentang legalisasi zina dengan penerapan argumentum a contratio tidak dibenarkan. Karena perguruan tinggi juga memiliki kode etik di lingkungan kampus dan kode etik tidak lantas dihapus karena adanya Permendikbud Ristek ini.
"Pemikiran bahwa Permendikbud ini melegalisasi zina adalah cara berpikir yang tidak logis. Meskipun di sana tidak dilarang secara tertulis, tapi kita ini adalah negara beradab. Tidak mungkin membenarkan adanya perzinahan," tegasnya.
Setidaknya terdapat enam peran yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi menurut Dr. Siti Nurjanah, M.Ag. Pertama, penguatan norma berarti aturan bukan sekadar persuasif, tapi pemberian sanksi (efek jera). Kedua, deteksi dini terkait hal mengarah pada kekerasan seksual. Ketiga, bimbingan kepada mahasiswa terhadap aspek kekerasan seksual. Keempat, melibatkan organisasi dalam upaya PPKS. Kelima, Intervensi kurikulum, yakni memasukkan isu pencegahan kekerasan seksual dalam kurikulum mata kuliah. Keenam, konseling yakni menyediakan tempat dan konselor bagi korban kekerasan seksual.
“Kita harus bergerak bersama menuju tatanan kampus yang beradab dan jauh dari kekerasan seksual,” ujar Rektor IAIN Metro itu.
Korban kekerasan banyak dari kaum perempuan, Maria Ulfa Anshor Komisioner Komnas Perempuan memberikan perspektifnya terhadap Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu. Adanya Komnas perempuan adalah sebagai pelindung serta memberikan pelayanan secara komprehensif terhadap para korban. Menjadi penegasan bahwa, tidak boleh ada eksploitasi terhadap perempuan.
Maria menyoroti para perempuan yang menjadi korban adanya kekerasan seksual, mereka menghadapi tantangan yang sangat luar biasa. Korban tidak hanya didiskriminasi bahkan didiskriminalisasi. Relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadi salah satu pokok problem, khususnya yang terjadi di lingkungan kampus yang mana pelaku adalah pemimpin yang memiliki kuasa sementara korban tidak berdaya.
“Untuk melakukan penanganan, kita tumbuhkan rasa empati kepada korban. Karena untuk melapor saja mereka membutuhkan perjuangan. Dalam konteks Perguruan Tinggi, kampus harus membuat tim yang menangani masalah kekerasan seksual,” tutur Maria.
Reporter : Arinal Haq
Editor: Nury Khoiril Jamil