LAKUKAN DIALOG PUBLIK, MEDIA CENTER KRITISI ISU TINDAK KEKERASAN DAN KORUPSI DI PESANTREN
Media Center - Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa dalam melahirkan pemuda Islam yang bermoral. Namun, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus yang kurang menyenangkan mengenai pesantren. Permasalahan ini menggiring opini di tengah masyarakat bahwa pondok pesantren bukan lagi tempat yang aman untuk menimba ilmu.
Bertepatan dengan momentum Hari Santri 2022, Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember menggelar dialog publik dengan tema, "Refleksi Tindak Kekerasan Pesantren Hingga Persoalan Korupsi" pada Rabu, (26/10). Acara yang bertempat di Gedung VIP Fakultas Syariah UIN KHAS Jember menghadirkan pemateri Dr. Abdul Wadud Nafis, L.C., M.E.I., Pengasuh Pondok Pesantren Manarul Qur'an, Alfisyah Nurhayati, M.Si., Ketua Pusat Gender dan Anak UIN KHAS Jember dan Dr. Shoni Rahmatullah Amrozi, M.Pd.I., Kepala Pusat Studi Pesantren UIN KHAS Jember.
Ali Akbar Masyayikh, S.H., Ketua Panitia Hari Santri menyampaikan bahwa pelaksanaan hari santri bukan hanya perayaan tahunan yang diperingati setahun sekali. Namun, harus diikuti dengan niat memperkuat posisi santri sebagai garda terdepan menjaga generasi bangsa.
“Hari santri jangan dijadikan sebagai perayaan belaka, akan tetapi juga dijadikan sebagai gerakan untuk mempertegas posisi santri sebagai penerus bangsa,” tegas Ali Akbar dalam sambutannya.
Adapun tujuan pelaksanaan dialog publik tentang kepesantrenan tersebut untuk melatih berpikir kritis. Tidak hanya melihat pesantren dari sisi baiknya saja, akan tetapi juga dari sisi negatifnya. Hal ini disampaikan oleh Nury Khoiril Jamil, S.H, sebagai Ketua Umum Media Center.
“Dialog publik ini bertujuan untuk merefleksi tindakan kekerasan hingga persoalan korupsi yang terjadi di pondok pesantren, oleh karena itu melalui diskusi ini kita dilatih untuk berpikir kritis,” tutur Jamil dalam sambutannya.
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., menyampaikan agar tidak melihat pesantren dari sisi baiknya saja. Akan tetapi juga melihat pandangan miring masyarakat terhadap pesantren.
"Acara ini sebagai refleksi santri terhadap pesantren agar tidak hanya melihat dari sisi baiknya saja, akan tetapi juga perlu melihat sisi negatif atau pandangan miring dari orang terhadap pesantren. Banyak hal yang bisa didiskusikan mulai dari kekerasan seksual, kekerasan fisik dan korupsi," ujar Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember tersebut.
Alfisyah Nurhayati, M.Si., menegaskan orang tua sangat berperan penting dalam pencegahan kekerasan seksual di pesantren. Orang tua harus tahu apa itu kekerasan seksual, apa perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kekerasan seksual, dan terlebih orang tua harus tahu kapan anaknya aqil baligh.
“Orang tua harus tahu kapan anaknya aqil baligh. Itu pendidikan dari orang tua, bukan semua dilimpahkan kepada pihak pesantren,” tegas Ketua Pusat Gender dan Anak UIN KHAS Jember.
Lebih lanjut, Alfish mengharapkan kedepannya regulasi di pesantren harus lebih transparan, terkait peraturan, jadwal kegiatan dan lain-lain. Karena upaya memberantas adanya kekerasan harus ada kerja sama dan komunikasi dari semua pihak, baik dari pesantren, orang tua dan anak.
Berikutnya, Dr. Shoni Rahmatullah Amrozi, M.Pd., juga mengungkapkan sebenarnya kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan pondok pesantren, tetapi juga banyak terjadi di lembaga pendidikan lainnya. Akan tetapi, karena pesantren memiliki ciri khas, mendapat sorotan lebih di mata publik.
“Pesantren namanya sakral dalam menajemen pendidikan, sehingga jika ada salah sedikit saja diekspos di media. Padahal kalau mau bicara kekerasan seksual yang ada dalam sistem pembelajaran itu yang paling dominan bukan di pesantren, tapi luar pesantren,” tutur Kepala Pusat Studi Pesantren UIN KHAS Jember.
Lebih lanjut, Shoni menegaskan perbedaan antara pesantren dan boarding school. Pesantren memiliki ciri khas yang dibawa oleh para wali. Sementara boarding school, sistem yang dipakai tidak mengadopsi dari pesantren.
“Sementara yang banyak diberitakan terjadi kekerasan selama ini adalah adalah lembaga yang bentuknya Islamic Boarding school, bukan pesantren,” tambahnya lagi.
Sepakat dengan yang disampaikan Shoni, Dr. Abdul Wadud Nafis, L.C., M.E.I., sebagai pengasuh Pondok Pesantren Manarul Qur’an memberikan tanggapan serupa. Berita tentang kiai yang pernah melakukan kekerasan seksual itu mungkin terjadi. Namun, jika ditelusuri pondok tersebut bukan sebagaimana yang dipahami secara umum karena mereka tidak mengikuti thoriqoh atau ajaran pendahulunya.
“Justru menurut saya, pesantren paling steril dari kekerasan seksual. Bahkan berkumpul antara laki-laki dan perempuan, tanpa ada tujuan yang dibenarkan itu bisa dikenakan ta'zir atau hukuman,” terang Gus Wadud (sapaan akrabnya).
Kembali dipaparkan oleh Gus Wadud, kalaupun ada santri yang disukai oleh kiainya, minimal akan dinikahi secara sirri oleh sang kiai dan itu pasti sudah atas seizin orang tua santri. Sedangkan adanya ta’ziran secara fisik juga diakui benar adanya, akan tetapi melalui mekanisme yang sangat ketat.
“Ta’ziran secara fisik sewaktu-waktu diperbolehkan dengan mekanisme yang sangat ketat,” tambahnya lagi.
Tidak hanya kasus kekerasan yang menjadi pembahasan pada dialog ini, tetapi juga membahas kasus korupsi di pesantren. Kasus kekerasan hingga korupsi sangat mencederai citra positif pesantren. Sehingga diperlukan solusi yang cepat dan tepat. Salah satu solusi yang disampaikan oleh Gus Wadud yakni dengan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang ada di pesantren tersebut.
"Untuk mengembangkan SDM di pesantren dapat dilakukan dengan menyekolahkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan diadakan pelatihan atau kursus,” pungkasnya.
Reporter : Nanda Amalia
Editor : Arinal Haq