MENGGAGAS MASJID RAMAH DIFABEL
Oleh: M. Noor Harisudin
Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmas Siddiq Jember
Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur
Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Ada banyak masjid di negeri ini yang masih belum berpihak pada penyandang disabilitas. Jika dihitung, masjid yang ramah difabel masih bisa dihitung dengan jari. Kita nyaris tidak pernah melihat masjid dengan adanya ramp atau bidang miring pada tangga yang digunakan oleh penyandang disabilitas. Demikian juga, kita jarang melihat masjid yang menyediakan fasilitas kursi roda untuk para difabel. Juga rasanya jarang bahkan tidak kita temukan fasilitas-fasilitas lain yang dibutuhkan untuk kalangan difabel.
Artinya, masjid ramah difabel masih dianggap barang mewah di Indonesia. Sementara itu, berdasarkan data berjalan tahun 2020 dari Biro Pusat Statistik (BPS), bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen dari total penduduk Indonesia. Meski usaha dari pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat sudah banyak dilakukan, namun sarana prasarana masjid kita masih jauh dari ramah difabel. Usaha ini masih nihil untuk tidak dikatakan gagal.
Fenomena ini tentu sangat ironis. Apalagi karena agama Islam telah memerintahkan kita untuk berpihak dan peduli pada para penyandang disabilitas. Islam sangat memberi perhatian khusus terhadap penyandang disabilitas dengan sebutan kaum dluafa, ulud dlarar, ahlul bala’, ashabu’ aldzar dan sebagainya (QS. At-Taubah: 91, QS. An-Nisa: 95). Penyebutan dengan berbagai terma ini adalah bentuk totalitas kepedulian Islam terhadap penyandang disabilitas.
Sedari awal, Islam memandang bahwa semua manusia itu setara sebagai makhul ciptaan Tuhan yang sempurna. (QS. Al-Isra: 70). Dalam Islam, Tuhan tidak melihat fisik manusia, namun melihat isi hati manusia. Karena itu, dalam Islam, yang diperhitungkan adalah ketaatan sebagai manfestasi ketakwaan manusia pada Tuhan. Karena itu, bentuk diskriminasi apapun dalam Islam –apalagi terhadap penyandang disabilitas, sangat dilarang.
Lebih dari itu, Islam memberikan hak semua penyandang Difabelitas sama dengan manusia pada umumnya tanpa kecuali. (QS. An-Nisa: 57). Semua nash-nash dalam al-Qur’an memerintahkan kita untuk memberikan hak pada manusia umumnya. Terutama kepada para penyandang disabilitas yang juga disebut orang dengan kebutuhan khusus.(dzawil ihtiyajat al-khassah).
Pada sisi lain, negeri ini juga sudah memiliki undang-undang yang mengikat agar rumah ibadah seperti masjid dilengkapi sarana prasarana yang ramah difabel. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 80 misalnya dengan tegas menyebut kewajiban penyediaan masjid dan rumah ibadah yang ramah difabel:” Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendorong dan atau membantu pengelola rumah ibadah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas”.
Namun demikian, secara de facto, kenyataan di lapangan masih jauh dari panggang apai. Ajaran Islam maupun undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 yang berpihak pada para penyandang disabilitas masih diabaikan. Semua pihak cenderung saling menyalahkan dan mencari kambing hitam pada soal belum tersedianya sarana prasarana masjid yang belum ramah difabel. Mestinya, pihak pemerintah, takmir masjid, organisasi masjid, dan stakeholder yang lain duduk bersama-sama dalam upaya pengadaan fasilitas yang ramah difabel dan mencari solusi-solusi lain agar para penyandang disabilitas dapat memperoleh akses yang sama dengan yang lain.
Oleh karena itu, dalam hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk percepatan pengadaan difabel masjid, sebagaimana berikut:
Pertama, menguatkan komitmen pemerintah untuk penyediaan sarana masjid yang ramag difabel. Komitmen ini harus dibuktikan dengan adanya regulasi dan pengganggaran fasilitas masjid yang ramah difabel. Meski anggaran penyediaan sarana prasarana ramah difabel juga bisa didapat dari wakaf tunai masyarakat, namun sekian persen anggaran pemerintah harus digunakan peruntukannya untuk masjid ramah difabel.
Kedua, pengelola masjid atau yang sering disebut takmir masjid harus memiliki yang komitmen kuat untuk pengadaan fasilitas jamaahnya yang berkebutuhan khusus. Komitmen ini berangkat dari pemahaman pentingnya memenuhi kebutuhan orang-orang Difabel. Takmir masjid harus selalu update pengetahuan dan teknologi untuk menopang perkhidmatannya pada jamaah masjid.
Ketiga, organisasi masjid seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI), Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMI) seyogyanya mendorong pengadaan masjid yang ramah difabel. Setiap anggota masing-masing dapat didorong untuk memberikan layanan terbaiknya pada jamaah, khususnya para penyandang disabilitas. Dalam berbagai forum, suara pentingnya sarana untuk para penyandang disabilitas dalam organisasi masjid ini harus terus digemakan agar menjadi ‘program utama’ masjid-masjid di seantero negeri ini.
Keempat, peran fungsi kontrol media –baik cetak, elektronik maupun media sosial-- dan lembaga swadaya masyarakat harus masif ikut terlibat mengawasi implementasi undang-undang tentang penyediaan sarana rumah ibadah yang ramah difabel. Media tetap harus kritis pada implementasi Undang-undang tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, meski fokusnya pada rumah ibadah seperti masjid.
Kelima, masyarakat sipil harus turut berpartisipasi atas pengadaan fasilitas masjid yang lebih ramah pada penyandang disabilitas. Masyarakat sipil harus bersuara keras dan tidak boleh diam dengan ketiadaan sarana prasarana ramah difabel di masjid-masjid sebagaimana kita lihat selama ini. Masyarakat sipil juga dapat bergabung dalam wadah-wadah voluenter yang mendorong pengadaan sarana prasarana masjid yang lebih berpihak pada para penyandang disabilitas.
Dengan langkah-langkah ini, kita berharap akan ada percepatan fasilitas masjid dan rumah ibadah lain yang lebih ramah difabel. Jika sarana transportasi seperti stasiun kereta dan bandara udara sudah ramah difabel sejak lama, maka masjid-masjid juga harus sama memiliki sarana prasarana yang berpihak dan ramah pada para penyandang disablitas. Semoga.***
M. Noor Harisudin
Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember
Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur
Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember