syariah@uinkhas.ac.id -

MENJADI NARASUMBER DI UII, DEKAN SYARIAH TEGASKAN ULAMA INDONESIA PALING TAHU KEADAAN NEGERINYA

Home >Berita >MENJADI NARASUMBER DI UII, DEKAN SYARIAH TEGASKAN ULAMA INDONESIA PALING TAHU KEADAAN NEGERINYA
Diposting : Jumat, 01 Apr 2022, 13:29:28 | Dilihat : 628 kali
MENJADI NARASUMBER DI UII, DEKAN SYARIAH TEGASKAN ULAMA INDONESIA PALING TAHU KEADAAN NEGERINYA


Media Center- Hadir sebagai narasumber di acara seminar nasional, dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M. Fil. I., paparkan materi Fikih Indonesia perspektif Usul Fikih. Menurutnya, Fikih Indonesia merupakan produk fikih yang tumbuh dan berkembang dalam konteks ke-Indonesiaan dalam perspektif ulama Indonesia. 

Hal ini disampaikan dalam acara yang diadakan oleh Program Studi Hukum Islam Program Doktoral Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) secara virtual dengan tema “Fikih Keindonesiaan Perspektif Budaya, Tata Negara, dan Usul Fikih” pada Rabu (30/03).

Prof. Harisudin sapaan akrabnya menjelaskan bahwa, adanya fikih Indonesia merupakan suatu hal yang urgen. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan realitas di setiap kawasan yang satu dengan kawasan yang lainnya. Maksud dari realitas di sini ialah kondisi sosial budaya, adat istiadat, trigulasi, konstitusi, dan lainnya. 

“Ulama Indonesia-lah yang paling tahu keadaan Indonesia, sehingga mereka paling berkompeten dalam menghadapi persoalan di tempat ini dari pada ulama di luar Indonesia,” ujarnya yang juga Pengasuh PP Darul Hikam.

Perbedaan itu ia contohkan seperti ulama Makkah menghukumi memakan belut itu haram. Hal itu dikarenakan anggapan mereka yang menyamakan dengan ular, sehingga ulama Indonesia menulis kitab yang menjelaskan hukumnya memakan belut itu halal.

Dalam memahami fikih ada dua hal yang harus diperhatikan. Konsep fikih ada yang bisa dirubah (mukhtalaq) dan ada yang tidak bisa dirubah (muttafaq). 

Selanjutnya, Prof. Harisudin juga menjelaskan berbagai macam produk fikih Indonesia yang tersebar dalam berbagai kitab kuning karya ulama Indonesia. Selain itu, produk fikih Indonesia juga bisa dilihat dari hasil ijtihad para ulama Indonesia.

“Kita bisa melihat fatwa MUI, bahtsul masailnya dari NU, Dewan Isbatnya Muhammadiyah dan yang berada di pondok kalau belajar fikih muamalah harus melihat kompilasi hukum ekonomi syariah biar tidak ketinggalan,” tuturnya yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.

Prof. Harisudin mengungkapkan bahwa, fikih Indonesia itu pendapatnya tidak tunggal (monoperspektif). Dalam beragama Islam, seorang muslim dituntut untuk mampu memahami setiap perbedaan dan keluwesan hukum (fikih). Hal tersebut memiliki makna lebih dalam lagi, apabila memahami fikih Indonesia hanya berpedoman pada satu pendapat saja maka akan menjadikan cakrawala pemikiran yang sempit. 

“Saya rasa jika dalam fikih hanya menggunakan satu pendapat saja maka tidak fair ya,” ucapnya.

Prof. Harisudin juga menegaskan bahwa, sebagian dari fikih Indonesia sudah menjadi qanun (undang-undang) atau seringkali disebut dengan istilah positive law.

Menariknya, Dr. Zainuddin, M. A., memaparkan bahwa bukan lagi saatnya jika fikih dipahami sebagai literatur keagamaan yang dirujuk. Lebih tepatnya fikih merupakan sebuah hukum yang hidup untuk menjalani kehidupan (positive law).

“Kita memiliki keinginan tidak ada penyebutan UU perbankan syariah, cukup pakai UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan. Namun harus digali dengan hukum yang hidup dari kitab fikih, syariah atau fatwa dan sejenisnya. Intinya, kita menginginkan adanya integrasi,” harapnya.

Selanjutnya pemateri kedua juga menambahkan bahwa kategori hukum Islam yang diadopsi oleh UU sekarang ini masih terbatas pada hukum perdata yaitu hukum keluarga dan hukum ekonomi. Sedangkan hukum pidana dan hukum tata negara masih jauh dari harapan.

“Ketika kita berbicara dalam konteks kenegaraan karena politik, kelihatannya masih belum disinggung-disinggung kalau mau dikaitkan dengan syariah,” tuturnya.

Terkait Fikih Indonesia perspektif budaya, berbagai persoalan yang disebabkan adanya perbedaan dari beragamnya pendapat di fikih dapat diatasi dengan pemikiran akal melalui dengan ilmu pengetahuan yang bersumber pada epistemologi. 

Di akhir penyampaiannya, Prof. Harisudin memberikan catatan khusus sebagai pesan kepada ulama. Ulama harus berani memeriksa ulang berbagai produk fikih Indonesia, Ulama juga harus membuka diri (upgrade) terhadap perkembangan pengetahuan, Ulama harus menggunakan metode fatwa yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan temuan IPTEK dan Ulama harus ‘tetap merdeka’ dalam merumuskan fatwa untuk kemaslahatan umat.

“Saya menjadi tidak tertarik dengan keputusan MUI ketika pandemi kemarin terakait persoalan dibukanya mall dan tempat wisata di saat pandemi, sedangkan masjid tetap harus ditutup. Jika memang berdasarkan temuan IPTEK mengatakan dampak dari covid-19 itu membahayakan, ya tutup saja semuanya. Jangan takut,” pungkasnya.

Reporter: Lia Amelia Rahmah

Editor: Nury Khoiril Jamil

Berita Terbaru

Tingkatan Mutu Mahasiswa di Bidang Protokol, Laboratorium Fasya Adakan Pelatihan Keprotokolan dan Public Speaking
11 Nov 2024By syariah
Komitmen Bentuk Mahasiswa Bermartabat : Pushaga Gelar Rekrutmen Anggota Angkatan Pertama tahun 2024
10 Nov 2024By syariah
Tingkatkan Mutu Mahasiswa dibidang Falak : Laboratorium Fasya UIN Khas Jember adakah Pelatihan Praktis Pengukuran Arah Kiblat
06 Nov 2024By syariah

Agenda

Informasi Terbaru

Belum ada Informasi Terbaru
;