MENJADI NARASUMBER DI WELLINGTON, DEKAN SYARIAH KUPAS KEISTIMEWAAN TURUNNYA AL-QUR`AN
Media Center - Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M. Fil. I. hadir sebagai narasumber dalam acara yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wellington dengan tema “Bersihkan Hati dan Tekadkan Diri Menjadi Manusia Berakhlak Qurani”. Acara tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati Nuzulul Qur’an pada Rabu (20/04) pukul 15.30 WNZ/10.30 WIB secara virtual melalui aplikasi zoom meeting.
Prof. Harisudin menjelaskan peristiwa diturunkannya al-Qur’an di bulan Ramadan tepatnya pada malam ke tujuh belas yang sering disebut dengan Nuzulul Qur’an. Dijelaskan, bahwa al-Qur’an diturunkan dari Baitul Izzah (langit dunia) kepada Nabi Muhammad SAW selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Peristiwa itu juga bertepatan dengan peristiwa perang badar di mana terjadi pertemuan dua pasukan antara pasukan muslim dan pasukan kafir quraisy.
Prof. Harisudin juga memapaparkan adanya keterkaitan antara perintah puasa bagi umat Muslim di bulan Ramadan dengan diturunkannya al-Qur’an.
“Penyebutan syahru ramadhaanal ladzii unzila fii hi al-quran pada QS. Al-Baqarah: 185 itu terdapat alasan tersendiri, yakni menunjukkan bahwa terdapat isyarat dianjurkannya untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an di bulan Ramadan,” ucapnya.
Kemudian Prof. Harisudin mengupas terkait adanya perbedaan antara al-Qur’an, tafsir, dan al-Qur’an terjemahan. Dia menjelaskan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafadz Bahasa Arab yang dinukil kepada umatnya secara mutawatir (diriwayatkan dari sejumlah orang yang tidak diragukan lagi keasliannya) yang ditulis dalam mushaf dan dianggap beribadah dengan membacanya.
“Tafsir dan terjemahan al-Qur’an itu bukan termasuk al-Qur’an, sehingga cara memulyakannya juga berbeda dengan al-Qur’an. Dengan itu perempuan yang sedang berhalangan diperbolehkan membaca dan memegang al-Qur’an terjemahan,” tutur Pengasuh PP. Darul Hikam, Jember.
Prof Harisudin juga mengupas makna yang terkandung dalam mufrodat Iqra’ pada QS. Al-Alaq. Iqra’ merupakan fi’il amar (kata kerja perintah) dari Qaraa-Yaqrau yang bermakna menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui dan menghimpun. Sehingga dapat disimpulkan makna dalam membaca al-Qur’an bukan hanya sekadar membaca, akan tetapi juga memahami dan menelaah isi dari al-Qur’an.
“Saudara kita yang terjebak investasi bodong itu karena tidak komprehensif dalam mencari ilustrasi barang. Hal itu tidak lain karena literasi al-Qur’annya tidak jalan. Dengan kita berliterasi secara komprehensif maka dapat melek di berbagai bidang,” tegasnya kepada audiens.
Selanjutnya Prof. Harisudin juga memaparkan terdapat generasi terbaik yang hidup di masa Rasulullah SAW, yang juga mendapat julukan sebagai generasi qurani. Disebutkan beberapa indikator yang menjadikan mereka sebagai generasi terbaik, diantaranya : pemimpinnya berkarakter qurani, adanya sosialisasi terkait isi al-Qur’an dari beberapa sahabat-sahabat pilihan, para sahabat yang mempelajari al-Qur’an dan para sahabat yang sama-sama bergerak cepat untuk mempraktikkan isi yang terkandung dalam al-Qur’an.
“Para sahabat Rasulullah SAW itu dalam mempelajari al-Qur’an tidak akan pindah ke ayat yang lain sebelum mempraktikkan,” tegas Ketua Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur.
Di akhir penyampaian materinya, Prof. Harisuddin juga menjelaskan teknik yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membentuk penduduknya menjadi masyarakat Qur’ani. Pertama, kepercayaan kepada al-Qur’an sebagai petunjuk baik terhadap ayat yang masuk akal dan ayat yang tidak masuk akal. Kedua, menjalani tiga proses yakni knowing (memberitahu), doing (melaksanakan), dan being (menjadi). Terakhir, pembudayaan nilai-nilai qur’ani dalam masyarakat.
“Rasulullah sebagai pemimpin agama dan juga pemimpin negara, memberitahukan isi al-Qur’an kemudian melaksanakan isi al-Qur’an dan menjadikan al-Qur’an sebagai bagian dari dirinya,” pungkasnya.
Reporter: Lia Amelia Rahmah
Editor : Arinal Haq