MENYEGARKAN KEMBALI GAGASAN TENTANG ISLAM, PANCASILA DAN INDONESIA
Oleh: M. Noor Harisudin
Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Ketua PP Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP)
Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (PP APHTN-HAN)
Hari ini, kampus kebanggaan kita, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember kedatangan dua tamu istimewa, yaitu Dr. (HC) KH. Afifudin Muhajir, MA, Wakil Rois ‘AM PBNU masa bakti 2022-2027 dan KH. M. Firjaun Barlaman Wakil Bupati Jember yang juga putra Kiai Haji Achmad Siddiq. Beliau berdua akan menjadi nara sumber Seminar Nasional “Bedah Pemikiran Tokoh tentang Pancasila dan Indonesia”, di Auditorium Gedung Kuliah Terpadu Lantai Tiga yang terletak di depan kampus UIN KHAS tercinta. Acara ini sendiri diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pancasila yang jatuh tanggal 1 Juni, satu hari yang lalu.
Kiai Afifudin Muhajir, kita tahu, adalah ‘think thank’ bahtsul masail PBNU.Rujukan fiqh PBNU adalah Kiai Afifudin Muhajir. Kapasitas beliau dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh sudah tidak diragukan lagi. Selain di PBNU, Kiai Afif adalah Ketua Majlis Ulama Indonesia Pusat yang membawahi bidang fatwa. Tidak hanya itu, penulis kitab Jumhuriyatu Indonesia Al-muwahhadah fii Mizan as-Syariah ini juga kerapkali diundang sebagai pembicara internasional dalam tema-tema Islam Wasathiyah, Fiqh dan Ushul Fiqh.
Sementara, Kiai Haji Muhammad Firjaun Barlaman, adalah Wakil Bupati Jember. Beliau adalah putra Kiai Ahmad Siddiq Jember, yang juga menjadi nama UIN KHAS ini. Sebagaimana kita tahu, Kiai Ahmad Siddiq adalah tokoh penting di balik penerimaan Pancasila pada Muktamar NU Situbondo tahun 1984. Meski penentangan ulama NU saat itu juga sedemikian keras, namun pada akhirnya para ulama NU taslim setelah mendengarkan langsung argumentasi Kiai Achmad Siddiq Jember. Saat itu, NU adalah ormas pertama yang menerima Pancasila.
Kegiatan seminar Fakultas Syariah UIN KHAS ini, hemat saya, menjadi sangat penting, terutama dalam konteks menyegarkan kembali gagasan tokoh-tokoh Islam tentang Pancasila dan Indonesia. Setidaknya, ada tiga alasan penting, yang bisa diajukan dalam hal ini:
Pertama, hingga hari ini, masih ada saja kelompok yang mempertentangkan Islam dan Pancasila. Mereka juga kadangkala mempertentangkan antara al-Qur’an dan Pancasila. Padahal, Pancasila compitable dengan Islam. Pancasila juga berdasar pada al-Qur’an. Bagaimana mungkin, nilai-nilai religious yang diserap dalam Pancasila bertentangan salah satu sumber nilai Pancasila, yaitu al-Qur’an?. Padahal, semua sila dalam Pancasila adalah sesuai dengan Islam. Tidak ada satupun sila Pancasila yang bertentangan dengan Islam ataupun al-Qur’an.
Kedua, generasi milenial sudah sejak lama tidak menerima materi Pancasila sejak Pancasila dihapus dalam kurikulum nasional UU Sisdiknas Tahun 2003. Generasi milenial ini nyaris tidak mengenal Pancasila. Bisa dikatakan bahwa pancasila tenggelam dalam dua dasawarsa terakhir. Ironisnya, kekosongan Pancasila lalu disambut hangat oleh gerakan transnasional yang pada umumnya bertolakbelakang dengan dasar negara Pancasila,
Generasi milenial harus memahami bahwa Pancasila adalah kalimatun sawa di antara sesama anak bangsa. Sejalan dengan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah gagasan sudah final dan tidak dapat digugat lagi. Meski dengan sebutan beda-beda, misalnya NU menyebut NKRI sebagai Darul Islam, Muhammadiyah dengan Darul ‘Ahdi was Syahadah serta Majlis Ulama Indonesia dengan Darul Mistaq, namun semua sepakat dengan NKRI sebagai negara konsesus yang tidak bisa diganggu gugat.
Selain itu, generasi milenial musti sadar posisi Pancasila sebagai philosopische grondslag atau pandangan hidup. Meminjam bahasa Soekarno, Pancasila adalah philosopische grondslag dengan dua kepentingan. Pertama, Pancasila menjadi pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup manusia baik dalam bermasyarakat dan bernegara. Kedua, Pancasila menjadi dasar Negara sehingga semua tatatan Negara harus berdasarkan pada Pancasila.
Ketiga, tantangan Indonesai ke depan. Pancasila dan Indonesia ke depan akan menghadapi tantangan yang lebih berat lagi sehingga diperlukan gagasan yang orisinal dan genuin untuk penguatan Pancasila dan Indonesia. Oleh karena itu, meski kita telah sepakat dengan NKRI dan Pancasila, kita tetap harus menghadirkan berbagai solusi di masa yang akan datang.
Kita semua sepakat bahwa kita harus bersama-sama melakukan peneguhaan agama (Islam) untuk penguatan Indonesia. Bagaimanapun, Islam mensupport dan menguatkan Negara untuk menuju baldatun thayibatun warabbun ghafur sebagaimana cita-cita Negara Indonesia:” …melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. (Alinea Keempat Pembukaan UUD RI 1945)
Dari sini, kita memahami bahwa Indonesia bukan Negara welfare state semata juga bukan secular welfare state, sebagaimana diikuti banyak Negara di dunia. Namun, Indonesia adalah religious welfare state, sebuah Negara keesejahteraan yang didasarkan pada nilai-nilai agama, termasuk agama Islam. Oleh karena itu, agama tidak bisa dilepaskan dari Indonesia, meskipun agama sebagaimana dimaksud disini bukan hanya agama Islam per se, namun semua agama yang diakui di negeri ini.
Hanya saja, kita memang harus terus menerus melakukan otokritik pada kita. Apakah pada tataran implementasi Pancasila sudah seideal yang kita bayangkan. Meskipun usaha penyelenggara sudah sedemikian rupa, namun nyatanya belum semua sila dalam Pancasila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari kita. Dan itulah yang menjadi tugas bersama kita di masa kini dan masa yang akan datang.
Wallahu’alam. ***