PROBLEM THR BAGI NON MUSLIM
Bulan Ramadhan tahun 2023 telah kita lalui. Saatnya tiba hari besar bagi umat muslim yang dikenal dengan istilah Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri ditetapkan pada 1 syawal setiap tahunnya. Kali ini telah memasuki tahun 1444 H atau bertepatan pada Jumat 22 April 2023.
Menjelang hari lebaran, biasanya negara mengeluarkan THR untuk para pekerja, baik PNS maupun pekerja di perusahaan. Berdasarkan permenaker Nomor 6 Tahun 2016 pasal 6 ayat (4). THR keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan."THR merupakan pendapatan non upah yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada para pekerja menjelang Hari Raya Keagamaan.
Pada tahun 2023, pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar 257,2 Triliun untuk dialokasikan ke dana THR dan gaji ke-13 yang akan diberikan kepada para PNS. Setiap PNS mendapatkan jumlah nominal THR berbeda-beda, tergantung dari pangkat, jabatan, peringkat jabatan dan kelas jabatannya. Namun, dari sekian banyak seseorang yang diangkat menjadi PNS di negara ini, masih ada PNS yang tidak berhak menerima THR dari negara. Dilansir dari AyoBandung.Com yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2022 Pasal 5 dijelaskan mengenai pengelompokan PNS yang tidak berhak mendapatkan THR dengan ketentuan sebagai berikut.
- Pegawai negeri yang sedang cuti di luar tanggungan negara atau sebutan lain.
- Pegawai negeri yang sedang ditugaskan di luar instansi pemerintah baik dalam maupun luar negeri yang gajinya dibayar oleh instansi tempat penugasannya.
Lalu, bagaimana dengan PNS Non Muslim ?
Nah, menarik sekali untuk kita bongkar masalah ini. Seperti yang kita ketahui, Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan keagamaan bagi umat islam. Jika kita lihat, pemerintah secara transparansi membuka data anggaran dana yang dipergunakan untuk THR. Dilansir dari databoks.co.id., tahun 2022 lalu, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar 34,3 Triliun. Hal ini ramai kita temukan di media sosial ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Sebagaimana tercantum dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa, "dalam hal hari raya keagamaan yang sama terjadi lebih dari satu kali dalam satu tahun, THR Keagamaan diberikan sesuai dengan pelaksanaan Hari Raya Keagamaan." Sesuai dengan ketentuan tersebut, para PNS dan pekerja akan mendapatkan THR pada Hari Raya Keagamaan masing-masing. Pemeluk Agama Islam mendapatkan THR menjelang Hari Raya Idul Fitri, Kristen menjelang Hari Raya Natal, Hindu menjelang Hari Raya Nyepi, Budha menjelang Hari Waisak dan Konghucu menjelang Hari Raya Imlek. Nyatanya, hal ini sungguh berbeda dengan praktek yang terjadi di lapangan. Dimana para PNS dan pekerja baik muslim maupun non muslim secara rata tanpa memandang status keagamaan mendapatkan THR di waktu yang sama. Misalnya PNS beragama Kristen mendapatkan THR pada Hari Raya Idul Fitri yang notabene tidak ikut serta merayakannya, begitu juga agama non islam yang lain.
Ketentuan tersebut dipatahkan oleh peraturan selanjutnya pada ayat (3) dijelaskan bahwa, "THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja, kecuali ditentukan lain dengan kesepakatan pengusaha dan pekerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama." Jadi, seseorang ketika hendak masuk kerja di sebuah instansi pasti diikat dengan sebuah kesepakatan, dalam hal ini disebut perjanjian kerja. Perjanjian tersebut akan menjadi suatu acuan selama pekerja tersebut berkerja di suatu instansi yang ditempatinya. Begitu juga dengan para PNS, khususnya non muslim, tentunya sebelum diangkat, ia harus menyetujui suatu perjanjian. Hal ini berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
"Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan."
Menyikapi hal tersebut, Bagaimana bisa ketentuan Permenaker dikesampingkan oleh kontrak kerja ?
Dalam hukum terdapat asas lex superior derogat legi inferiori. Pengimplementasian asas ini tentang peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menyampingkan peraturan yang lebih rendah. Secara hierarki, kedudukan permenaker lebih tinggi dari pada kontrak kerja. Namun, pada asas ini terdapat pengecualian bahwa jika dalam substansi perundang-undangan yang lebih tinggi mengatur hal-hal yang memang ditetapkan untuk menjadi wewenang peraturan yang lebih rendah. hal ini jelas pada ayat (3) permenaker memberikan wewenang kepada kontrak kerja untuk mengatur masalah THR.
Dalam hal ini, segala ketentuan yang tertuang dalam perjanjian kerja baik PNS maupun pekerja bilanana ketentuan tersebut mungkin bertentangan dengan subtansi dari Undang-undang yang berlaku, maka secara hukum itu sah untuk diaplikasikan. Termasuk dalam hal ketentuan waktu pendistribusian THR ini
Jadi, jangan heran bilamana kita menemukan praktek pendistribusian THR yang tidak sesuai dengan ketentuan Permenaker yang mengintruksikan kalau pengalokasian THR diberikan sesuai Hari Raya Keagamaan masing-masing. Karena, bisa saja para PNS dan pekerja terikat oleh perjanjian kerja yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Pada dasarnya PNS non muslim juga berhak mendapatkan THR kendatipun tidak sesuai dengan Hari Keagamaannya. Dalam perusahaan bahkan negara tidak mau ambil sulit masalah pencairan THR ini. Apabila proses pendistribusian THR mengikuti ketentuan sesuai agama masing-masing, tentu hal ini sulit. Karena, masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama islam. Agar lebih efisien, konsensus yang nantinya tertuang dalam perjanjian kerja untuk menentukan pendistribusian THR dilakukan pada waktu tertentu.
Penulis : Moh Ramdhan Harisuddin, Mahasiswa Hukum Tata Negara Semester 4