SEKJEN MAHKAMAH KONSITUSI SEBUT SEJUMLAH TANTANGAN JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
Media Center- Fakultas Syariah (Fasya) Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi RI telah sukses menggelar Webinar Nasional bertemakan “Problem dan Tantangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi di Indonesia”. Acara berlangsung secara online melalui aplikasi Zoom Meeting, dan Live Youtube, dimulai pukul 10.00 WIB pada Rabu, (22/9).
Adapun turut hadir pada acara tersebut diantaranya yaitu Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H.,M.H., Sekjen Mahkamah Konstitusi dan Ketua Umum APHTN-HAN, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. Fil.I., Dekan Fakultas Syariah, dan Sholikul Hadi, SH., MH., Direktur PUSHPASI (Pusat Studi Hukum, Pancasila dan Konstitusi) Falkutas Syariah. Acara dipandu oleh moderator, Basuki Kurniawan, SH., MH.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., menyampaikan pentingnya memahami judicial review.
“Secara perorangan, warga Indonesia yang merasa hak-haknya, hak asasinya dirugikan. Ini bisa diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review,” tutur Prof. Harisudin yang juga Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (PP APHTN-HAN).
Prof. Haris menambahkan, sudah sepatutnya masyarakat Indonesia harus tahu dan paham akan adanya Judicial Review.
“Saya berharap, ini dapat dipahami dan memperkuat kesadaran hukum seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tentu akan sangat baik untuk masa depan hukum di Indonesia,” ujar Prof. Haris yang juga Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur.
Berbicara mengenai judicial review mahkamah konstitusi. Hal ini menjadi cara warga masyarakat untuk menjadi peserta, berpartisipasi memperbaiki suatu proses peraturan perundang-undangan atau ikut serta mengoreksi suatu produk hukum dari pemerintah.
Sholikul Hadi, SH., MH., sebagai pemateri pertama menjelaskan tentang kedudukan permohonan dalam pengujian undang-undang yang merupakan bagian dari judicial review.
Wewenang dan kewajiban MK tertuang dalam Pasal 24 C ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang menunjukkan bahwa pembentuk UU mempunyai alasan dan pertimbangan tertentu.
“Pengujian UU selaras dengan fungsi MK sebagai pengawas konstitusi dan final konstitusi,” ungkap Sholikul Hadi yang juga Dosen di Fakultas Syariah UIN KHAS Jember tersebut.
Pengujian UU terhadap UUD ini sangatlah penting bagi negara demokrasi, dan UU tidak lagi menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan juga presiden yang juga dipilih oleh rakyat. Selain itu, demikian ini dapat memperkuat supremasi konstitusi sebagai amanat dari pasal 1 ayat 2 UUD 1945.
“Meskipun DPR, Presiden itu telah diberikan mandat oleh rakyat, akan tetapi rakyat bisa memberikan kontrol, bisa memberikan check and balance, dalam hal ini melalui pengujian UUD,” ujarnya.
Menurut data yang ada pada rekapitulasi MK pada tanggal 16 September 2021, sebanyak 1422 atau 44 persen masyarakat mengadakan soal Pengujian UU (PUU). Harapan rakyat dengan kenyataannya ada kesesuaian. Sejak berdirinya MK sampai saat ini terdapat 272 perkara dan dikabulkan, baik dikabulkan keseluruhan maupun sebagian.
“Ini menunjukkam bahwa telah 272 kali MK menyelamatkan bangsa dan negara dari berlakunya suatu norma UU negara yang inkonstitusional,” ucap Solikhul Hadi sambil memberikan applause.
Menurutnya, disinilah perlu adanya sosialiasi tentang pentingnya pengkajian UU kepada masyarakat luas dan perlu lebih masif lagi agar masyarakat selaku warga negara yang tidak terpenuhi hak konstitusionalnya karena pengaturan suatu UU, yang bersangkutan dapat mengajukan pengujian terhadap UUD.
Lebih lanjut, Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H., sebagai pemateri kedua menuturkan, Mahkamah Konstitusi tentu dalam perkembangannya mengalami berbagai macam tantangan.
Tantangan pertama, dalam struktur peraturan perundang-undangan, tentu posisi UU dibawah ketetapan MPR, diatas peraturan pemerintah. Lalu bagaimana dengan ketetapan MPR dan Perpu? Inilah tantangannya. Karena dalam UUD menyebut bahwa kewenangan mahkamah konstitusi itu menguji UU terhadap UUD.
Jika dalam arti formal, berarti UU sebagaimana dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Jika dalam arti materiil, MK berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti UU Perpu dan bahkan juga menguji ketetapan MPR.
Tantangan kedua, terjadi pada saat MK menguji ketentuan asal yang terkait pembentukan kewenangan MK. Yang dapat diuji oleh MK yaitu UU yang lahir sejak UU 24 tahun 2003 kedepan. Sifatnya perspektif. Namun dalam perkembangannya, ternyata warga masyarakat meminta menguji UU yang lahirnya sebelum terbitnya UU 24 tahun 2003. Disinilah MK kemudian melakukan ijtihad.
Kewenangan MK dalam pengujian UU (judicial review), tantangannya yaitu memisahkan pemeriksaan pengujian formil dan materiil. Dua bentuk pengajuan ini sudah diakomodir di MK. Sehingga masyarakat warga negara dapat mengajukan pengajuan materiil dan juga formil.
"Tantangan bagi Mahkamah Konstitusi adalah membangun sistem peradilan yang komprehensif, dalam lembaga peradilan selalu ada dua area yang harus diperhatikan supaya organisasi peradilan itu bergerak maju. Yang pertama JAS atau Ekosistem Teknologi Peradilan dan transformasi digital di MK RI. Judiciary Administration System di Mahkamah Konstitusi sudah relatif lengkap mulai dari pengajuan permohonan sudah ada permohonan online dan juga dilayani dengan digital transkrip, jadi risalah persidangan selalu di munculkan di laman konstitusi, sehinga bapak ibu yang pernah bersidang di Mahkamah Konstitusi tentu dapat segera mengetahui apa yang disampaikan ketika berada di ruang persidangan", terang Ketua Umum AP HTN HAN.
“Tantangannya adalah tangan waktu. Hanya saja kita berharap, nanti tertuang dalam PMK, ini harus dipisah, karena pengajuan formil selalu menuntut kecepatan untuk dilakukannya pengujian (hasilnya). Sementara pengujian materiil tidak dibatasi waktunya,” katanya.
Webinar Nasional bersama MK kali ini dihadiri oleh 900 peserta lebih yang sangat antusias dari berbagai universitas di seluruh penjuru Indonesia.
Reporter : Ulfa Miftakhur Rohmah
Editor : Erni Fitriani