TINJAUAN TERHADAP NEGATIVE CONFIRMATION DALAM JUAL BELI ONLINE
Oleh: Nury Khoiril Jamil, S.H. (Ketua Umum Media Center Fakultas Syariah UIN KHAS Jember)
Harapan acapkali tidak dapat sesuai yang diinginkan. Begitu juga, harapan atas perwujudan orientasi nilai adil yang sebenarnya (keadilan substantif) bagi para pihak dalam transaksi jual beli. Pada tatanan das sein, acap kali wujud adil hanya didapat dari keadilan formiil (keadilan prosedural). Terlebih dalam hal perikatan yang secara kontekstual paling dekat terhadap keberlangsung hidup di masyarakat.
Kepastian hukum merupakan sebuah keniscayaan dalam perikatan, hal demikian dalam perikatan disebut sebagai asas pacta sunt servanda berarti bahwa, mempunyai daya ikat yang kuat atas dasar konsensus perjanjian dan keberlakuannya sama seperti undang-undang. Hakikat dari asas a quo merupakan posisi tertitnggi dalam menjamin nilai-nilai kepastian dalam perikatan.
Penilaian terhadap keabsahan suatu perjanjian berakibat hukum terhadap kesimpulan hukum atas daya ikat pada kontrak tersebut. Keabsahan suatu perjanjian dapat dipastikan melalui metode pengujian dan instrumen legal yang telah terwujud melalui syarat sah perjanjian dalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, selain itu terdapat syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di luar Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Pasal 1335, Pasal 1339, dan Pasal 1347 KUHPerdata.
Secara das sein, asas pacta sunt servanda memiliki potensi untuk menimbulkan suatu ketidakadilan dalam berkontrak. Bergaining power yang berimbang akan lebih dapat menjamin tujuan asas a quo, yakni untuk mendapatkan hubungan kontraktual yang menimbulkan kesejahteraan yang maksimal. Begitu pula sebaliknya, lemahnya salah satu posisi tawar pihak, akan berpotensi memberikan kerugian terhadap pihak baik melalui cara-cara yang belum secara tegas diatur dalam ketentuan perikatan, dengan tujuan mendapat manfaat pribadi.
Tidak seimbangnya pihak yang berkontrak dapat ditelisik dalam salah satu model kontrak yang popular, yaitu jenis atau bentuk kontrak konsumen menggunakan bentuk baku yang secara substansi klausul yang termuat pasal tidak berimbang.
Pada era digital ini, perikatan yang dibuat oleh para pihak banyak dilakukan dengan cara online dan pihak pembeli akan selalu dipaksa dengan perjanjian baku yang telah disediakan baik e-commerce dan pemilik katalog dalam e-commerce. Kendati dalam suatu platform e-commerce konsumen dapat memberikan penilaian, namun atas negative confirmation selama ini belum maksimal mendapat perlindungan hukum, sehingga asas pacta sunt servanda seakan menjadi boomerang untuk konsumen.
Asas Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Perikatan di Indonesia
Perjanjian secara asal usul terjadi karena terdapat perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan yang mencoba mempertemukan kehendak. Berarti, para pihak memiliki kewajiban untuk melaksanakan kesepakatan atas substansi klausul, hal tersebut karena sepakatnya para pihak menimbulkan hubungan hukum.
Perjanjian dipandang sebagai suatu peristiwa hukum yang suci, kesucian atas kewajiban hubungan hukum tersebut tidak lain sebagai bentuk eksistensi dari asas yang mengatakan bahwa, dibuatnya perjanjian melalui dasar yang bebas dan sukarela.
Hadirnya asas pacta sunt servanda bertujuan agar taat terhadap klausul pada perjanjian. Atas dasar tersebut, asas memiliki fungsi untuk pengesahan serta memiliki pengaruh normatif dan daya ikat terhadap pihak.
Mutlak bagi para pihak untuk mendapatkan hak serta melaksanakan kewajiban. Sederhana dalam memaknai perjanjian menggunakan asas pacta sunt servanda, yakni hanya membutuhkan kesesuaian perjanjian terhadap implementasi.
Pada prinsipnya, daya ikat dan daya paksa perikatan yang memiliki kekuatan seperti undang-undang yang berlaku terhadap para pihak adalah sebagai kepentingan yang vital dalam sistem hukum dimanapun, baik klasik hingga modern.
Tata hukum Indonesia menempatkan keberadaan asas tersebut tertuang pada pasal 1338 (1) KUHPPerdata pada pokoknya perjanjian yang telah pada tahap konsensus dipersamakan dengan undang-undangn dan mengikat. Ketatnya penerapan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut, tentu sebagai wujud demi tercapainya suatu kepastian hukum.
Tinjauan Terhadap Fenomena Negative Confirmation
Praktik transaksi komersial dengan keadaan yang timpang dipicu atas dasar maraknya perjanjian baku, sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam berkontrak dengan kepentingan yang berbeda para pihaknya, hal demikian menerbitkan reaksi kea rah yang perlu atas pemberian wadah yang “layak”.
Kendati menjadi asas kepastian hukum yang penting diimplementasikan, asas pacta sunt servanda cukup pada tatanan penjaminan terhadap kepastian hukum, namun keberadaan asas good faith dan compliance dalam pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian menjadi satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
Pada hakikatnya, kepastian hukum yang diusung dalam pasal 1338 (1) KUHPerdata juga perlu memerhatikan perlindungan hukum. Terlebih pada era modern ini, kontrak-kontrak elektronik lebih banyak menggunakan kontrak baku, sehingga konsumen seakan hanya “terpenjara” dalam proses penentuan substansi kontrak yang akan berdampak langsung kepadanya.
Konteks perlindungan konsumen juga telah diatur pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan hak tersendiri yaitu, hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen; hak memilih; hak mendapat informasi yang benar; hak didengar keluhannya dan hak lainnya.
Kendati secara regulasi telah mengupayakan banyak cara hukum yang memiliki proteksi terhadap konsumen, namun terdapat celah hukum yang menimbulkan ketidakpastian, yakni fenomena negative confirmation yaitu pemberian nilai (rate) dengan beberapa tingkatan kepuasan.
Penilaian negatif tersebut diberikan atas dasar ketidakpuasan konsumen atas barang/jasa yang dibeli. Hal demikian seolah kepastian hukum hanya didapat oleh penjual, dengan dalih bahwa atas negative confirmation tersebut dianggap telah menerima konsekuensi atas kontrak yang telah diteken.
Menjadi hal baru dan patut dipertimbangkan bahwa, penilaian negatif terhadap suatu transaksi dapat menjadi pertimbangan dalam pembatalan kontrak. Terkadang menjadi problem adalah tidak dapat terselesaikan sengketa tersebut dikarenakan cost yang dibutuhkan melebihi nilai pembelian, sehingga konsumen memilih untuk menerima pelaksanaan kontrak tersebut
Secara normatif, tidak sahnya suatu perjanjian dapat berupa adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan, telah diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata.
Pada konteks negative confirmation yang terjadi di e-commerce cukup sulit dibuktikan dengan pasal 1321 KUHPerdata, karena secara produk/jasa telah jelas terpampang dan paksaan tidak artikan untuk pasca kontrak, namun pada saat pengambilan keputusan melakukan transaksi.
Persoalan kontrak era ini tidak lagi terkungkung dalam perbicangan kecemasan terhadap tidak seimbangnya atau tidak adilnya dalam kontrak, namun seharusnya cukup fokus terhadap mempertemukan kepentingan yang berbeda sehingga nilai proporsionalitas (berkeadilan) bisa diatur.
Kajian yang berkaitan terhadap kontrak yang berkeadilan harus terdapat perpaduan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi-kontra prestasi), dapat dipahami terhadap konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai pijakan dalam hubungan kontrak para pihak.
Terdapat dua pendekatan dalam memastikan terwujudnya nilai keadilan. Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan prosedural menitikberatkan terhadap bebasnya kehendak para pihak dalam membuat kontrak. Kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekankan terhadap kandungan atau substansi hingga terhadap tahap pelaksanaan kontrak.
Pada konteks negative confirmation tersebut harus mengedepankan nilai-nilai keseimbangan dalam kemanfaatan pasca kontrak, maka keadilan dalam berkontrak akan terwujud dengan semestinya